Sejak dihapusnya Bahasa Inggris dari mata pelajaran wajib kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP 2006) dan menjadi bagian dari muatan lokalnya kurikulum 2013, sudah saatnya kita berpikir lebih kritis lagi terhadap sistem pendidikan negara dalam skala Internasional. Dan bertanya dalam diri tiap insan akademik, “Apakah saya siap untuk proyek industri 4.0 dengan sistem pendidikan seperti ini?”. Apakah ada cukup waktu bagi generasi z, yang baru akan serius mengenal Bahasa Inggris di umur 12 tahun, untuk bersanding dengan elit global lainnya di era 4.0? Apakah adil bagi adik – adik kita nantinya yang akan dituntut memiliki skor TOEFL minimal 550? Padahal Bahasa Inggris bukan lagi mata pelajaran wajib di sekolah dasar.
Berdasarkan sejarah perjalanan sistem pendidikan Indonesia, negara mengganti setidaknya 10 kali kurikulum sejak kita merdeka. Dan mungkin, butuh belasan, puluhan, ratusan bahkan ribuan perubahan lagi untuk benar – benar stabil dalam kondisi pendidikan. Tapi mungkin juga tidak. Mungkin saja kita tak butuh modifikasi sistem apapun lagi. Mungkin saja selama ini bukan sistemnya yang salah. Mungkin hanya karena kita belum sadar seperti apa diri kita sebenarnya.
Kronologis Sistem Pendidikan Indonesia
Kira – kira seperti inilah kita pada umumnya dalam tiap – tiap generasi. Negara memulai “Kurikulum Rentjana Pembelajaran 1947” di awal kemerdekaan tanpa persiapan yang matang, tanpa pengalaman dan sebuah gagasan awal dalam membangun pendidikan rakyat tanpa campur tangan penjajah. 3 tahun kemudian setelah mengevaluasi, negara menerapkan sebuah standar nasional sebagai parameter proses belajar mengajar kita. Standar itu kita sebut Ujian Nasional.
Sejak saat ujian itu dimulai, muncullah banyak kecurangan dalam perjalanannya selama 70 tahun bersama ke-10 kurikulum yang sudah kita jalani. Kebocoran soal, penjualan kunci jawaban, kerusakan naskah dan banyak lagi kejadian mewarnai dokumen negara yang sangat rahasia itu. Banyak warta berita yang mengabarkan beberapa anak – anak yang tidak lulus ujian. Bahkan diantaranya ada peserta olimpiade sains tahun sebelumnya, siswa/ siswi berprestasi sekolah dan sejumlah anak lainnya yang tak disangka – sangka. Apakah ujian nasional salah? Apa tak boleh kita menguji jerih lelah anak Indonesia selama 3 tahun hanya dengan 40 sampai 50 soal pilihan ganda? Ya, karena faktanya selama 70 tahun, pendidikan kita masih ada dalam posisi terendah di dunia.
Kita bosan mendengarkan ceramah guru karena merasa tak paham. Apakah gurunya yang tidak kompeten? Bisa jadi. Tapi ketika kita mengeluh, muncullah student centre learning. Sebuah sistem dimana siswa harus lebih aktif dalam belajar, mencari materi sendiri dan memahami secara mandiri. Peran guru hanya mengawasi dan menuntun. Dan disinilah, sang guru – guru tak berkompeten diuntungkan. Mereka tak pernah mengawasi, apalagi menuntun. Mereka hanya bagian dari penonton saat kita presentasi di depan kelas, mencari jawaban, memahami sendiri dan mengajarkan teman – teman lain. Tugas kita bukan hanya belajar tapi juga mengajar. Kita bukan hanya siswa, kita juga guru ternyata dalam sistem ini. Apakah student centre learning berhasil? Tidak, karena faktanya sistem pendidikan kita masih pada peringkat terendah didunia.
Kurikulum Berevolusi Mental
Kini kurikulum kita mengedepankan karakter. Demi meningkatkan nasionalisme, kita sudah tak diwajibkan belajar Bahasa Inggris telalu dini. Artinya, kita bisa belajar Bahasa Inggris dengan leluasa, tanpa paksaan apapun dan bebas mengeksplorasi. Apakah cara ini berhasil? Belum, kita tak bisa menyimpulkan sistem yang baru berjalan selama 4 tahun. Dan sudah bukan saatnya lagi kita menyalahkan sistem, kurikulum dan jam pelajaran. Pendidikan modern berbicara tentang karakter dan mental. Generasi dengan karakter dan mental yang bertanggung jawab terhadap pendidikannya sendiri apapun itu sistemnya, yang mampu menerima berapapun jam belajarnya, bekerja keras, menjaga integritas dalam ujian, dan semangat belajar yang tidak patah hanya karena banyaknya kekurangan dari pendidikan negara kita.
Kita mungkin sudah terbiasa sampai tak tersentuh lagi dengan kata – kata nasionalis ini “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!”. Semuanya berawal dari diri sendiri. Sistem mungkin tak pernah salah, kurikulum pun demikian. Kitanya saja yang kurang kuat. Tapi tidak apa – apa, menjadi lemah bukanlah suatu kejahatan. Masih banyak waktu bagi generasi z. Dengan teknologi dan internet yang secanggih sekarang, tidak ada hambatan apapun lagi untuk belajar. Sekalipun Bahasa Inggris dihapus total dari kurikulum, negara tidak akan melarang rakyatnya belajar bahasa asing dalam sistem e – learning.
Selamat datang di Era E–Learning.
Di e–learning, pelajar sudah bisa memilih yang terbaik bagi pendidikannya sesuai gaya belajar masing – masing. Pelajar hanya perlu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya masih mau belajar?” Tak perlu lagi khawatir pelajaran yang sulit, karena telah banyak metode belajar yang mudah dipahami hadir di internet. Melalui platform video, belajar matematika yang awalnya selalu menakutkan pun bisa menjadi menyenangkan dan mudah diterima. Demikian juga dengan mata pelajaran lainnya. Sehingga masih banyak waktu bagi adik – adik kita untuk lebih dini belajar Bahasa Inggris dengan e–learning. Dan sangat memungkinkan untuk bisa mencapai skor tinggi dalam tes kemampuan Bahasa Inggris seperti TOEFL atau IELTS.
Namun sebuah teknologi butuh control dari penciptanya, yaitu kita sebagai manusia. Control terhadap karakter dan mental kita yang dikhawatirkan menjadi ancaman dari pendidikan modern. Apakah kita akan menjadi sombong karena ilmu pengetahuan dan teknologi ini? Apakah kita akan menjadi manusia cerdas dengan mental lemah dan jiwa persaingan yang tidak sehat? Apakah kita adalah calon – calon koruptor berintelek di masa depan? Apakah kita hanya akan memperkaya diri sendiri, kecewa terhadap kekurangan negara ini dan pergi ke tempat lain yang kita nilai lebih baik? Jawaban ada dalam diri masing – masing. Indonesia butuh generasi yang berani bermimpi bahwa suatu hari ilmu pengetahuan Indonesia dihargai banyak negara. Generasi dengan mental dan karakter yang kuat untuk mewujudkan mimpi itu. Dan meskipun negaranya memiliki banyak kekurangan, mereka bukan orang yang akan melarikan diri dari mimpinya hanya karena dihantam realita.
Krisis pendidikan kita bukanlah standarisasi pendidikan lagi, staf pengajar lagi, pengurangan dan penambahan jam atau mata pelajaran tertentu lagi. Krisis kita adalah mental dan karakter. Inilah sasaran kurikulum 2013 yang telah dirilis oleh negara kita 4 tahun yang lalu. Kurikulum ini harusnya sudah tepat sasaran. Namun kita belum bisa melihat hasilnya sekarang. Kita belum dapat menyimpulkan apapun sampai pendidikan Indonesia 2030 nanti menjadi jawabannya.
Berdasarkan sejarah perjalanan sistem pendidikan Indonesia, negara mengganti setidaknya 10 kali kurikulum sejak kita merdeka. Dan mungkin, butuh belasan, puluhan, ratusan bahkan ribuan perubahan lagi untuk benar – benar stabil dalam kondisi pendidikan. Tapi mungkin juga tidak. Mungkin saja kita tak butuh modifikasi sistem apapun lagi. Mungkin saja selama ini bukan sistemnya yang salah. Mungkin hanya karena kita belum sadar seperti apa diri kita sebenarnya.
Kronologis Sistem Pendidikan Indonesia
Kira – kira seperti inilah kita pada umumnya dalam tiap – tiap generasi. Negara memulai “Kurikulum Rentjana Pembelajaran 1947” di awal kemerdekaan tanpa persiapan yang matang, tanpa pengalaman dan sebuah gagasan awal dalam membangun pendidikan rakyat tanpa campur tangan penjajah. 3 tahun kemudian setelah mengevaluasi, negara menerapkan sebuah standar nasional sebagai parameter proses belajar mengajar kita. Standar itu kita sebut Ujian Nasional.
Sejak saat ujian itu dimulai, muncullah banyak kecurangan dalam perjalanannya selama 70 tahun bersama ke-10 kurikulum yang sudah kita jalani. Kebocoran soal, penjualan kunci jawaban, kerusakan naskah dan banyak lagi kejadian mewarnai dokumen negara yang sangat rahasia itu. Banyak warta berita yang mengabarkan beberapa anak – anak yang tidak lulus ujian. Bahkan diantaranya ada peserta olimpiade sains tahun sebelumnya, siswa/ siswi berprestasi sekolah dan sejumlah anak lainnya yang tak disangka – sangka. Apakah ujian nasional salah? Apa tak boleh kita menguji jerih lelah anak Indonesia selama 3 tahun hanya dengan 40 sampai 50 soal pilihan ganda? Ya, karena faktanya selama 70 tahun, pendidikan kita masih ada dalam posisi terendah di dunia.
Kita bosan mendengarkan ceramah guru karena merasa tak paham. Apakah gurunya yang tidak kompeten? Bisa jadi. Tapi ketika kita mengeluh, muncullah student centre learning. Sebuah sistem dimana siswa harus lebih aktif dalam belajar, mencari materi sendiri dan memahami secara mandiri. Peran guru hanya mengawasi dan menuntun. Dan disinilah, sang guru – guru tak berkompeten diuntungkan. Mereka tak pernah mengawasi, apalagi menuntun. Mereka hanya bagian dari penonton saat kita presentasi di depan kelas, mencari jawaban, memahami sendiri dan mengajarkan teman – teman lain. Tugas kita bukan hanya belajar tapi juga mengajar. Kita bukan hanya siswa, kita juga guru ternyata dalam sistem ini. Apakah student centre learning berhasil? Tidak, karena faktanya sistem pendidikan kita masih pada peringkat terendah didunia.
Kurikulum Berevolusi Mental
Kini kurikulum kita mengedepankan karakter. Demi meningkatkan nasionalisme, kita sudah tak diwajibkan belajar Bahasa Inggris telalu dini. Artinya, kita bisa belajar Bahasa Inggris dengan leluasa, tanpa paksaan apapun dan bebas mengeksplorasi. Apakah cara ini berhasil? Belum, kita tak bisa menyimpulkan sistem yang baru berjalan selama 4 tahun. Dan sudah bukan saatnya lagi kita menyalahkan sistem, kurikulum dan jam pelajaran. Pendidikan modern berbicara tentang karakter dan mental. Generasi dengan karakter dan mental yang bertanggung jawab terhadap pendidikannya sendiri apapun itu sistemnya, yang mampu menerima berapapun jam belajarnya, bekerja keras, menjaga integritas dalam ujian, dan semangat belajar yang tidak patah hanya karena banyaknya kekurangan dari pendidikan negara kita.
Kita mungkin sudah terbiasa sampai tak tersentuh lagi dengan kata – kata nasionalis ini “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!”. Semuanya berawal dari diri sendiri. Sistem mungkin tak pernah salah, kurikulum pun demikian. Kitanya saja yang kurang kuat. Tapi tidak apa – apa, menjadi lemah bukanlah suatu kejahatan. Masih banyak waktu bagi generasi z. Dengan teknologi dan internet yang secanggih sekarang, tidak ada hambatan apapun lagi untuk belajar. Sekalipun Bahasa Inggris dihapus total dari kurikulum, negara tidak akan melarang rakyatnya belajar bahasa asing dalam sistem e – learning.
Selamat datang di Era E–Learning.
Di e–learning, pelajar sudah bisa memilih yang terbaik bagi pendidikannya sesuai gaya belajar masing – masing. Pelajar hanya perlu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya masih mau belajar?” Tak perlu lagi khawatir pelajaran yang sulit, karena telah banyak metode belajar yang mudah dipahami hadir di internet. Melalui platform video, belajar matematika yang awalnya selalu menakutkan pun bisa menjadi menyenangkan dan mudah diterima. Demikian juga dengan mata pelajaran lainnya. Sehingga masih banyak waktu bagi adik – adik kita untuk lebih dini belajar Bahasa Inggris dengan e–learning. Dan sangat memungkinkan untuk bisa mencapai skor tinggi dalam tes kemampuan Bahasa Inggris seperti TOEFL atau IELTS.
Namun sebuah teknologi butuh control dari penciptanya, yaitu kita sebagai manusia. Control terhadap karakter dan mental kita yang dikhawatirkan menjadi ancaman dari pendidikan modern. Apakah kita akan menjadi sombong karena ilmu pengetahuan dan teknologi ini? Apakah kita akan menjadi manusia cerdas dengan mental lemah dan jiwa persaingan yang tidak sehat? Apakah kita adalah calon – calon koruptor berintelek di masa depan? Apakah kita hanya akan memperkaya diri sendiri, kecewa terhadap kekurangan negara ini dan pergi ke tempat lain yang kita nilai lebih baik? Jawaban ada dalam diri masing – masing. Indonesia butuh generasi yang berani bermimpi bahwa suatu hari ilmu pengetahuan Indonesia dihargai banyak negara. Generasi dengan mental dan karakter yang kuat untuk mewujudkan mimpi itu. Dan meskipun negaranya memiliki banyak kekurangan, mereka bukan orang yang akan melarikan diri dari mimpinya hanya karena dihantam realita.
Krisis pendidikan kita bukanlah standarisasi pendidikan lagi, staf pengajar lagi, pengurangan dan penambahan jam atau mata pelajaran tertentu lagi. Krisis kita adalah mental dan karakter. Inilah sasaran kurikulum 2013 yang telah dirilis oleh negara kita 4 tahun yang lalu. Kurikulum ini harusnya sudah tepat sasaran. Namun kita belum bisa melihat hasilnya sekarang. Kita belum dapat menyimpulkan apapun sampai pendidikan Indonesia 2030 nanti menjadi jawabannya.
This opini has been send to fianosa.com. And it's going to publish soon on their web.