Langsung ke konten utama

Indonesia dan COVID 19


Panic buying, sebuah fenomena belanja berlebihan dan penimbunan stok barang dalam satu waktu di tengah merebaknya kasus corona. Fenomena ini baru terasa begitu kita melihat rak – rak kosong di supermarket, kehabisan beberapa bahan pokok serta kelangkaan hand sanitizer dan masker. Ketika diinformasikan ke publik bahwa virus ini memasuki wilayah DKI Jakarta pada awal maret 2020, timbul kecemasan ditengah masyarakat yang kemudian melahirkan tindakan impulsif dengan belanja berlebihan. Berharap dengan banyaknya persediaan dalam rumah kita sendiri, tidak perlu lagi kita belanja keluar dan bertemu dengan banyak orang. Selain infeksi corona yang menular, kepanikan, loss of control dan merasa tidak berdaya juga demikian menular. Dibandingkan langkah kecil mencuci tangan dan memakai masker, bahaya virus corona yang mengancam lebih besar daripada tindakan pencegahannya. Karena itu masyarakat bertindak sendiri tanpa memikirkan resiko lainnya.
            Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan, dr. Terawan, menyampaikan kepada masyarakat untuk tidak panik, tidak memborong belanjaan atapun menimbun hand sanitizer dan masker. “Padahal flu, batuk, pilek yang biasa terjadi pada kita itu angka kematiannya lebih tinggi daripada corona. Tapi kenapa ini bisa hebohnya luar biasa?”, begitu salah satu ungkapan beliau ketika ditemui di Kantor Kementrian Kesehatan, Rasuna Said, Jakarta Selatan. Pernyataan Menteri Kesehatan ini dianggap meremehkan bahaya virus dan dinilai asal bicara. Padahal menurut Presiden Indonesia, Bapak Jokowi Dodo, melalui wawancara eksklusif di Istana Merdeka pada awal bulan mei 2020 menjelaskan bahwa ini merupakan salah satu tindakan pemerintah yaitu membuat public tenang dan keputusan – keputusan yang diambil tidak terburu – buru. Langkah awal pemerintah untuk membuat publik tidak panik ini membuat sebagian besar masyarakat kecewa.
            Jika kita mundur 13 hari lebih awal dari wawancara ekslusif bapak presiden, 10 April 2020, hari dimana pertama kali PSBB mulai diberlakukan. Fakta ini menunjukkan pemerintah sudah meningkatkan kesiagaan. Menjadi lebih sigap namun berhati – hati dalam mengambil keputusan. Mempertimbangkan segala hal dari berbagai aspek. Tetapi hanya terhitung waktu 1 minggu dari tanggal 10 april 2020 sampai dimulainya fenomena baru yang disebut “mudik dini”. Sebuah fenomena dimana masyarakat banyak mencuri start untuk pulang kampung lebih cepat sebelum PSBB makin diperketat. Alasannya, sama seperti pada Panic buying, cemas dan merasa tidak berdaya jika harus berdiam diri. Lalu mengambil langkah pulang kampung lebih cepat yang justru menambah jumlah kasus corona di Indonesia.
            Tindakan awal pemerintah untuk membuat masyarakat tenang tidak membuahkan hasil dan tindakan yang lebih tegas, PSBB, tidak menurunkan banyaknya kasus corona. Hanya laju pertambahannya yang kita perlambat tapi tak pernah kita kurangi jumlahnya. Mengapa demikian? Mental dan gagasan yang kita genggam membentuk pola pikir kita pada pandemik dan seluruh tindakan pemerintah terhadapnya. Kita menaruh pemimpin – pemimpin negara kita pada ekspektasi yang paling tinggi untuk bisa menyelesaikan masalah dalam tempo yang sesingkat – singkatnya. Kita menunggu pemerintah tapi tak kunjung ada solusi jitu. Kita tidak terima pernyataan Menteri kesehatan yang sebenarnya ingin melegakan kita dan memberi ketenangan agar kita tidak memunculkan fenomena – fenomena sosial baru yang mengancam angka penularan. Hal ini karena kita lebih suka fakta negatif bahwa seluruh dunia mengalami peningkatan korban jiwa.
            Memang pada dasarnya kita memiliki naluri untuk lebih mudah mempercayai hal negatif daripada hal positif. Kita cenderung bosan pada pernyataan dan fakta – fakta positif yang disampaikan dibandingkan fakta negatif yang mengarah kepada hoax. Sebuah studi yang dilakukan oleh Departement of Psychology di University of California, Davis, Amerika Serikat pada tahun 2008 menunjukan bahwa manusia mudah terjebak dalam hal negatif dan sulit bangkit kembali untuk melihat hal – hal positif. Studi ini membagi responden ke dalam kedua kelompok, grup A dan grup B. Peneliti mengatakan satu track record dari seorang calon Gubernur mereka, yang akan maju dalam pemilihan umum, berbeda kepada masing – masing grup. Kepada grup A, peneliti mengatakan bahwa jika Gubernur itu berhasil dalam pemilihan maka ia akan memotong anggaran seluruh negara bagian dan menyelamatkan 40% lapangan pekerjaan. Grup A menyukai gagasan tersebut dan berpikir bahwa itu  calon Gubernur yang hebat. Kepada grup B. peneliti mengatakan bahwa jika Gubernur itu berhasil dalam pemilihan maka ia akan memotong anggaran seluruh negara bagian dan mereka akan kehilangan 60% lapangan pekerjaan. Lalu grup B tidak menyukai gagasan tersebut dan berpikir bahwa itu calon Gubernur yang buruk. Kemudian peneliti mengatakan hal yang sebaliknya kepada kedua grup. Grup A yang menerima fakta baru bahwa mereka akan kehilangan 60% lapangan pekerjaan berubah tidak menyukai gurbernur tersebut. Grup B yang menerima fakta baru bahwa calon Gurbernur akan menyelamatkan 40% lapangan pekerjaan tetap tidak menyukainya. Tidak berubah sama sekali respon grup B terhadap hal postif setelah lebih dahulu mendengar hal negatif. Demikian juga dengan grup A yang langsung menunjukkan respon tidak suka begitu menemukan hal negatif bahkan setelah mendengar hal positif. Betapa secara alami kita mudah terjebak dalam hal negatif dan butuh usaha besar untuk bangkit melihat hal positif.
            Itu sebabnya kita menilai pernyataan – pernyataan Menteri kesehatan adalah sikap asal bicara dan tindakan awal pemerintah untuk membuat publik tidak panik adalah menganggap remeh. Karena itu merupakan hal positif yang pertama kita dengar sebelum angka – angka dan grafik datang menunjukan  jumlah kasus infeksi serta kematian yang bertambah. Membuat kita jatuh pada fakta negatif dan sulit melihat hal – hal baik kembali. Mengapa kita tidak mengeluh pada info jumlah kasus yang di-update setiap hari? Kenapa kita tidak menyarankan untuk di-update tiga hari sekali atau seminggu sekali? Kenapa kita membiarkan fakta yang membuat kita takut dan cemas hadir setiap saat? Karena secara alami kita menyukainya, kita ingin fakta negatif itu bisa langsung kita baca saat itu juga. Kita cenderung membiarkan hal negatif ada di dekat kita dan menilai pernyataan positif yang sebenarnya ingin memberikan semangat adalah tindakan meremehkan.
            Pepatah latin mengatakan “mens sana in corpore sano” yaitu di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pikiran dan jiwa kita adalah kunci utamanya. Informasi dan fakta negatif yang kita dengar pada akhirnya akan mempengaruhi tubuh dan mengancam kesehatan. Berdasarkan semuanya itu, hal yang paling kita butuhkan saat ini ialah mental yang kuat dan gagasan yang tepat. Semuanya dimulai dari diri kita sendiri. Untuk membentuk mental yang kuat, satu hal yang paling pertama harus kita lakukan adalah menerima kenyataan. Majalah Psychology today di Amerika Serikat pada edisi 19 April 2011 menunjukan salah satu ciri orang bermental kuat adalah menyadari dan menerima kenyataan. Kita perlu menyadari bahwa vaksin butuh waktu untuk benar – benar ditemukan dan selama belum ada vaksin, virus corona belum mereda. Kita perlu menerima kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara yang berpenduduk banyak menjadi tantangan sendiri bagi pemimpinnya. Kita harus menyadari dan menerima segala kenyataan tentang negara kita. 
            Setelah itu kita mampu berinisiatif sendiri dan tidak hanya berpangku tangan menunggu pemerintah. Kita bisa bertindak dengan gagasan yang lebih rasional dan berjalan ditengah wabah corona dengan mental yang kuat. Presiden Amerika Serikat ke-35, John F. Kennedy, mengatakan “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!”. Mari kita mulai bertanya pada diri masing – masing apakah kita sudah menaati peraturan dengan baik? Apakah kita sudah menjalankan PSBB dengan benar? Apakah kita sudah rajin cuci tangan dan menjaga kebersihan? Sebagai masyarakat, kita menilai langkah kecil kita sering tidak berarti. Tapi jika kita menyadari bahwa hal – hal besar dimulai dari hal – hal kecil dan hanya itu yang bisa kita lakukan untuk membantu maka seharusnya kita menjalaninya dengan sepenuh hati.
            Dalam hal ini diperlukan kerja keras, kerja cerdas, kerja nyata dan kerja sama dengan pemerintah juga. Mengingat new normal sudah dimulai di Indonesia, sebaiknya disertai juga dengan penciptaan gagasan yang benar di masyarakat. Agar masyarakat menerima kenyataan bahwa sekalipun normal, keadaan tidak dapat kembali seperti semula. Tidak berarti kita bisa kembali dengan mudah berkumpul di satu tempat ramai – ramai, tidak bisa kita keluar rumah tanpa masker dan masuk rumah tanpa cuci tangan. Pemerintah sebaiknya menjadikan kebiasaan memakai masker ketika diluar, menjaga jarak dan mencuci tangan sebelum melakukan pelayanan publik sebagai suatu kewajiban. Bukan lagi himbauan dan ajakan tapi sudah menjadi suatu keharusan dan peraturan yang dibuat dengan sanksi yang tegas. Tidak perlu sanksi yang berat. Sedang saja tidak masalah yang pasti benar – benar dilakukan dan menimbulkan efek jera jika tidak dipatuhi.
Pemerintah juga sebaiknya lebih transparan dan jujur mengakui apa adanya mengenai segala sesuatu yang sudah dilalui beserta seluruh hambatan yang dimiliki negara ini sambil terus berupaya semaksimal mungkin. Transparansi dan tindakan nyata akan melahirkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sehingga tercipta ketenangan dan mengurangi perilaku masyarakat yang suka bertindak sendiri tanpa memikirkan resiko. Awalnya memang tidak mudah apalagi jika kita perlu mengawasi seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Akan tetapi jangan sampai kita mengikuti naluri kita yang lebih menyukai hal negatif dan bosan pada satu hal positif bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil.

This essay has been send to UNESA with the origin title "A Power of Indonesia Citizen Mentality and idea in Pandemic Covid 19".

Postingan populer dari blog ini

The Moment When I Got Attract to Fashion

I don't like wears any dress and makeup. I made cosmetics. but it doesn't mean I wear that. it also doesn't mean I am special, speak about making other people down just to lift you up theory. There must be a lot of people not adore it too. A little back story when I was a kid, my mom got so flustered about making me wear a ball gown. "why don't you want to look like Princess when everybody does?" she said.  And for the rest of my youth, I spend a lot of time to thought about that. why? I ended up look messed in my entire collages era every single day. I avoid parties, hang out, and funnies things. I also not came to the graduation. I hate looks spectacular. I do absolutely hate my appearance. I finally make a deal with my thought, spirit, and soul about this principle. and I found that I don't like cosmetics because it makes me feel like a fake. no offense, please. It's like a smile when you feel hurt. Happy when you broke. like putting a mask right on...

A Letter From 2030

    Dear myself in 2020, What will future really looks like? From the next 10 years I see, there is nothing new on the earth. Its not as terrible as you think and its not as glorious as you imagine. What exists now is what will be, and what has been done is what will be done. A history always repeats. If you think we will starve, drought, be poor and suffer from disease. Trust me, you will be fine in 10 years later. They will release new better foods because synthetic foods will not be scary to eaten. Many years ago, human also refused fruit and vegetables that were fertilized by animal waste. But now, we eat it. We eat hydroponics, broiler chicken and even fast food that is considered dangerous. We like these foods. And we are fine as long as we are in normal consumption range. The famine that exists now is what will be. But the solution has been done is what will be done. We don’t change the world, we repair it from the damage we have made. Two things that I know can...

HELLO MY WORLD, IT'S GOOD TO BE COMEBACK.

I found I stopped blogging around 6 years and want to make some new faces within. Six years.. I lost inspiration, most energy, and motivation. So today, with the first publishing after many years I want to say hi and thanks to everyone who pushed me to start writing again. You will find something different like new content. Previously, I just write an opinion and random things here. So, I added health and science stuff. I am using English in a few contents from now. I know I am not an expert in English like many of my friends. And you will find so much bad grammar here. But I am trying to expand my area and develop my knowledge. Honestly, I had a lot of unconfident either. But I felt like I can’t stop. I want to do something that many people around my life rarely do. So with my unconfident, I will write in 2 languages. I am sorry if you feel uncomfortable with my bad English. You just don’t have to read the English content or you can leave this blog like.. forever. This blog ...